BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pengetahuan metalografi pada
dasarnya mempelajari karakteristik struktural dan susunan dari suatu logam atau
paduan logam. Biasanya tidak melalui suatu keseluruhan potongan disebabkan oleh
pembawaan hydrogen atau logam.
Dewasa ini terdapat berbagai jenis bahan yang
digunakan pada proses manufaktur. Namun, sebelum diketahui atau digunakan dalam
industri atau bagian-bagian yang lain, karakteristik structural atau susunan
dari logam atau paduannya yang akan dipakai atau ditawarkan pada industri untuk
keperluan lainnya.
Dari hal inilah, orang mulai mencoba untuk melakukan
uji mmetalografi pada suatu material. Sehingga dengan cara ini dapat diperoleh bahan
dengan sifat-sifat yang sesuai dengan tujuan tertentu untuk memenuhi nkebutuhan
teknologi modern yang meningkat.
Untuk itu, pengujian metalografi sangat berguna dalam
berbagai dunia industri, terutama pada industri logam dan otomotif. Karena
kebutuhan akan logam ini semakin meningkat, maka banyak industri manufaktur
menyuplai bahan logam yang ada di pasaran san telah melalui berbagai proses
pengujian bahan.
1.2 Tujuan dan
Manfaat Pengujian
A.
Tujuan Pengujian
Setelah melakukan pengujian
metalografi praktikan dapat :
1.
Menjelaskan
tujuan dari proses metalografi.
2.
menjelaskan
langkah-langkah pengujian Metalografi.
3.
Mengetahui bahan
dan alat yang digunakan pada pengujian metalografi.
4.
Mengetahui
bentuk-bentuk fasa dari logam.
5.
menganalisa
ukuran butir dan membbandingkan dengan grain size ASTM.
6.
Menjelaskan
hubungan antara struktur mikro dan karakteristik butir terhadap bahan.
7.
Mampu melakukan
pengujian metalografi.
B.
Manfaat Pengujian
1.
Bagi Praktikan
·
Dapat mengetahui
dampak perlakuan panas dan media pendingin terhadap karakteristik logam.
·
Dapat melihat
perbedaan setiap fasa logam yang diuji.
·
Dapat
mengoperasikan mikroskop untuk pengamatan pada bahan yang lain.
2.
Bagi Industri
·
Dengan pengujian
metalografi, dapat diketahui suatu logam atau paduannya yang mempunyai kekuatan
yang tinggi dan ekonomis.
·
Dapat diperoleh
bahan dengan sifat-sifat yang sesuai dengan kebutuhan industri.
BAN II
LANDASAN TEORI
2.1 Teori Dasar
A. Defenisi Metalografi
Merupakan
disiplin ilmu yang mempelajari karakteristik
mikrostruktur
dan makrostruktur suatu logam, paduan logam dan material lainnya serta
hubungannya dengan
sifat-sifat material, atau biasa juga dikatakan suatu proses umtuk mengukur suatu
material baik secara kualitatif maupun kuantitatif berdasarkan
informasi-informasi yang didapatkan dari material yang diamati. Dalam ilmu
metalurgi struktur mikro merupakan hal yang sangat penting untuk
dipelajari. Karena struktur mikro sangat berpengaruh pada sifat fisik dan
mekanik suatu logam. Struktur mikro yang berbeda sifat logam
akan berbeda pula. Struktur mikro yang kecil akan membuat
kekerasan logam akan meningkat. Dan juga sebaliknya,
struktur mikro yang besar akan membuat logam menjadi ulet atau kekerasannya menurun. Struktur mikro itu sendiri dipengaruhi oleh
komposisi kimia dari logam atau paduan logam tersebut serta
proses yang dialaminya.
Metalografi bertujuan untuk mendapatkan struktur makro dan mikro suatu logam sehingga dapat dianalisa sifat mekanik dari logam tersebut. Pengamatan metalografi dibagi menjadidua,yaitu:
1. Metalografi makro, yaitu penyelidikan struktur logam dengan pembesaran 10 ± 100kali.
2. Metalografi mikro, yaitu penyelidikan struktur logam dengan pembesaran 1000 kali.
Untuk mengamati struktur mikro yang terbentuk pada logam tersebut biasanya memakai mikroskop optik. Sebelum benda uji diamati pada mikroskop optik, benda uji tersebut harus melewati tahap-tahap preparasi. Tujuannya adalah agar pada saat diamati benda uji terlihat dengan jelas, karena sangatlah penting hasil gambar pada metalografi. Semakin sempurna preparasi benda uji, semakin jelas gambar struktur yang diperoleh. Adapun tahapan preparasinya meliputi pemotongan, mounting, pengampelasan, polishing dan etching (etsa).
B. Jenis-jenis mikroskop
1. Mikroskop cahaya
Mikroskop cahaya atau dikenal juga dengan nama "Compound
light microscope" adalah sebuah mikroskop
yang menggunakan cahaya lampu sebagai pengganti cahaya matahari sebagaimana
yang digunakan pada mikroskop konvensional. Pada mikroskop konvensional, sumber cahaya masih
berasal dari sinar matahari yang dipantulkan dengan suatu cermin datar ataupun
cekung yang terdapat dibawah kondensor. Cermin ini akan mengarahkan cahaya dari
luar kedalam kondensor.
Gambar 2.1 mikroskop cahaya
Pada mikroskop ini, kita dapat melihat
bayangan benda dalam tiga dimensi lensa, yaitu lensa obyektif, lensa okuler dan
lensa kondensor.
·
Lensa
obyektif berfungsi guna pembentukan bayangan
pertama dan menentukan struktur serta bagian renik yang akan terlihat pada
bayangan akhir serta berkemampuan untuk memperbesar bayangan obyek sehingga
dapat memiliki nilai "apertura" yaitu suatu ukuran daya pisah suatu
lensa obyektif yang akan menentukan daya pisah spesimen, sehingga mampu
menunjukkan struktur renik yang berdekatan sebagai dua benda yang terpisah.
·
Lensa
okuler, adalah lensa mikroskop yang
terdapat di bagian ujung atas tabung berdekatan dengan mata pengamat, dan
berfungsi untuk memperbesar bayangan yang dihasilkan oleh lensa obyektif
berkisar antara 4 hingga 25 kali.
gambar 2.2 lensa obtyektif dan lensa okuler
- Lensa kondensor, adalah lensa yang berfungsi guna mendukung terciptanya pencahayaan pada obyek yang akan dilihat sehingga dengan pengaturan yang tepat maka akan diperoleh daya pisah maksimal.
Jika daya pisah kurang maksimal maka dua benda akan terlihat
menjadi satu dan pembesarannyapun akan kurang optimal.
gambar
2.3 lensa kondensor
Mikroskop elektron adalah sebuah mikroskop
yang mampu untuk melakukan pembesaran objek sampai 2 juta kali, yang
menggunakan elektro statik dan elektro magnetik untuk mengontrol pencahayaan dan tampilan gambar serta
memiliki kemampuan pembesaran objek serta resolusi yang jauh lebih bagus
daripada mikroskop cahaya. Mikroskop elektron
ini menggunakan jauh lebih banyak energi dan radiasi
elektromagnetik yang lebih pendek dibandingkan mikroskop cahaya.
gambar
2.4 mikroskop electron
Jenis-jenis mikroskop elektron
1. Mikroskop transmisi elektron (TEM)
Mikroskop
transmisi elektron (Transmission electron microscope-TEM)adalah sebuah
mikroskop elektron yang cara kerjanya mirip dengan cara kerja proyektor slide, di mana elektron ditembuskan ke dalam obyek pengamatan
dan pengamat mengamati hasil tembusannya pada layar.
gambar 2.5
mikroskop transmisi elektron
Cara
kerja
Mikroskop transmisi eletron saat ini telah
mengalami peningkatan kinerja hingga mampu menghasilkan resolusi hingga 0,1 nm
(atau 1 angstrom) atau sama dengan pembesaran sampai
satu juta kali. Meskipun banyak bidang-bidang ilmu pengetahuan yang
berkembang pesat dengan bantuan mikroskop transmisi elektron ini.
Adanya persyaratan bahwa "obyek pengamatan
harus setipis mungkin" ini kembali membuat sebagian peneliti tidak terpuaskan,
terutama yang memiliki obyek yang tidak dapat dengan serta merta dipertipis.
Karena itu pengembangan metode baru mikroskop elektron terus dilakukan.
2. Mikroskop pemindai transmisi elektron (STEM)
Mikroskop pemindai transmisi elektron
(STEM)adalah merupakan salah satu tipe yang merupakan hasil pengembangan dari
mikroskop transmisi elektron (TEM).
Gambar 2.6 mikroskop pemindai
transmisi electron
Pada sistem STEM ini, electron menembus spesimen
namun sebagaimana halnya dengan cara kerja SEM, optik elektron terfokus
langsung pada sudut yang sempit dengan memindai obyek menggunakan pola
pemindaian dimana obyek tersebut dipindai dari satu sisi ke sisi lainnya (raster)
yang menghasilkan lajur-lajur
titik (dots)yang membentuk gambar seperti yang dihasilkan oleh CRT pada televisi / monitor.
3. Mikroskop pemindai elektron (SEM)
Mikroskop
pemindai elektron (SEM) yang digunakan
untuk studi detil arsitektur permukaan sel (atau struktur jasad renik
lainnya), dan obyek diamati secara tiga dimensi.
.
gambar
2.7 mikroskop pemindai elektron
Cara
kerja
Cara
terbentuknya gambar pada SEM berbeda dengan apa yang terjadi pada mikroskop
optic dan TEM. Pada SEM, gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron baru
(elektron sekunder) atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel
ketika permukaan sampel tersebut dipindai dengan sinar elektron. Elektron
sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya,
kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap-terang pada layar monitor CRT (cathode ray
tube). Di layar CRT inilah gambar struktur obyek yang sudah diperbesar bisa
dilihat. Pada proses operasinya, SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan,
sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang 3 dimensi.
4. Mikroskop pemindai lingkungan elektron (ESEM)
Mikroskop ini adalah merupakan pengembangan dari
SEM, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut Environmental SEM (ESEM) yang
dikembangkan guna mengatasi obyek pengamatan yang tidak memenuhi syarat sebagai
obyek TEM maupun SEM.
Obyek yang tidak memenuhi syarat seperti ini
biasanya adalah bahan alami yang ingin diamati secara detil tanpa merusak atau
menambah perlakuan yang tidak perlu terhadap obyek yang apabila menggunakat alat
SEM konvensional perlu ditambahkan beberapa trik yang memungkinkan hal tersebut
bisa terlaksana.
gambar
2.8 mikroskop pemindai lingkungan elektron
Cara kerja
Mikroskop ini adalah merupakan pengembangan dari
SEM, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut Environmental SEM (ESEM) yang
dikembangkan guna mengatasi obyek pengamatan yang tidak memenuhi syarat sebagai
obyek TEM maupun SEM.
Obyek yang tidak memenuhi syarat seperti ini
biasanya adalah bahan alami yang ingin diamati secara detil tanpa merusak atau
menambah perlakuan yang tidak perlu terhadap obyek yang apabila menggunakat
alat SEM konvensional perlu ditambahkan beberapa trik yang memungkinkan hal
tersebut bisa terlaksana.
Pertama-tama dilakukan suatu upaya untuk
menghilangkan penumpukan elektron (charging) di permukaan obyek, dengan
membuat suasana dalam ruang sample tidak vakum tetapi diisi dengan sedikit gas
yang akan mengantarkan muatan positif ke permukaan obyek, sehingga penumpukan
elektron dapat dihindari.
Hal ini menimbulkan masalah karena kolom tempat elektron dipercepat dan ruang filamen di
mana elektron yang dihasilkan memerlukan tingkat vakum yang
tinggi. Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan memisahkan sistem pompa
vakum ruang obyek dan ruang kolom serta filamen, dengan menggunakan sistem
pompa untuk masing-masing ruang. Di antaranya kemudian dipasang satu atau lebih
piringan logam platina yang biasa disebut (aperture) berlubang dengan diameter antara 200
hingga 500 mikrometer yang digunakan hanya untuk melewatkan
elektron , sementara tingkat kevakuman yang berbeda dari tiap ruangan tetap
terjaga.
5. Mikroskop refleksi elektron (REM)
Yang dalam bahasa Inggrisnya disebut Reflection
electron microscope (REM), adalah mikroskop elektron yang memiliki cara kerja
yang serupa sebagaimana halnya dengan cara kerja TEM namun sistem ini
menggunakan deteksi pantulan elektron pada permukaan objek. Tehnik ini secara
khusus digunakan dengan menggabungkannya dengan tehnik Refleksi difraksi
elektron energi tinggi (Reflection High Energy Electron Diffraction) dan
tehnik Refleksi pelepasan spektrum energi tinggi (reflection high-energy
loss spectrum - RHELS).
gambar
2.9 mikroskop refleksi elektron
C.
Mekanisme Difusi
Difusi
merupakan proses perpindahan atau pergerakan molekul zat atau gas dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Difusi melalui membran dapat
berlangsung melalui tiga mekanisme, yaitu difusi sederhana (simple difusion),d
ifusi melalui saluran yang terbentuk oleh protein transmembran (simple difusion
by chanel formed), dan difusi difasilitasi (fasiliated difusion).
Difusi
sederhana melalui membrane berlangsung karena molekul -molekul yang berpindah
atau bergerak melalui membran bersifat larut dalam lemak (lipid) sehingga dapat
menembus lipid bilayer pada membran secara langsung. Membran sel permeabel
terhadap molekul larut lemak seperti hormon steroid, vitamin A, D, E, dan K
serta bahan-bahan organik yang larut dalam lemak, Selain itu, memmbran sel juga
sangat permeabel terhadap molekul anorganik seperti O,CO2, HO, dan H2O.
Beberapa molekul kecil khusus yang terlarut dalam serta ion-ion tertentu, dapat
menembus membran melalui saluran atau chanel. Saluran ini terbentuk dari
protein transmembran, semacam pori dengan diameter tertentu yang memungkinkan
molekul dengan diameter lebih kecil dari diameter pori tersebut dapat
melaluinya. Sementara itu, molekul – molekul berukuran besar seperti asam
amino, glukosa, dan beberapa garam – garam mineral , tidak dapat menembus
membrane secara langsung, tetapi memerlukan protein pembawa atau transporter
untuk dapat menembus membran.
D.
Langkah-langkah pemeriksaan metalografi
(Pemotongan,Pengamplasan,Penggerindaan,Pemolesan, Pengetsaan dan Pemeriksaan
Mikroskop
1.
Pemotongan
Pemilihan sampel yang tepat dari suatu benda uji studi mikroskop optik
merupakan hal yang sangat penting. Pemilihan sampel tersebut didasarkan pada
tujuan pengamatan yang hendak dilakukan. Pada umumnya bahan komersial
tidak homogen sehingga satu sampel yang diambil dari suatu volume besar
tidak dapat dianggap representatif.Pengambilan sampel harus direncanakan
sedemikian sehingga menghasilkan sampel yang sesuai dengan kondisi rata-rata
bahan/kondisi ditempat-tempat tertentu(kritis) dengan memperhatikan kemudahan
pemotongan pula. Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada daerah
yang akan diamati mikrostruktur maupun makrostrukturnya. Sebagai contoh untuk
pengamatan mikrostruktur material yang mengalami kegagalan, maka sampel diambil
sedekat mungkin pada daerah kegagalan (pada daerah kritis dengan kondisi
terparah), untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang diambil dari daerah
yang jauh dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam proses
memotong, harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang berlebihan. Oleh
karena itu, setiap proses pemotongan harus diberi pendinginan yang memadai.
Pada saat pemotongan jangan sampai merusak struktur bahan
akibat gesekan alat potong
dengan benda uji. Untuk menghindari pemanasan setempat atau berlebihan dapat digunakan air sebagai pendingin.
Berdasarkan tingkat deformasi yang dihasilkan, teknik pemotongan terbagi
menjadi dua yaitu : teknik pemotongan dengan deformasi yang besar menggunakan
gerinda, sedangkan teknik pemotongan dengan deformasi yang kecil menggunakan
low speed diamond saw.
Teknik pemotongan sampel dapat dilakukan dengan :
a.
pematahan : untuk bahan getas dank
eras
b.
pengguntingan : untuk baja karbon
rendah yang tipis dan lunak
c.
penggergajian : untuk bahan yang
lebih lunak dari 350 HB
d.
pemotongan abrasi
e.
electric discharge machining : untuk
bahan dengan konduktivitas baik di mana sampel direndam dalam fluida dielektrik
lebih dahulu sebelum dipotong dengan memasang catu listrik antara elektroda dan
sampel.
2.
Penggerindaan Kasar, yaitu meratakan permukaan sampel dengan cara menggosokkan
sampel pada baru gerinda.
Bertujuan untuk menghilangkan deformasi pada permukaan akibat pemotongan dan Pemanasan yang
berlebih harus dihindari.
Sampel yang baru saja dipotong atau sampel yang telah terkorosi memiliki
permukaan yang kasar. Permukaan yang kasar tersebut harus diratakan agar
pengamatan struktur mudah dilakukan.
3.
Mounting
Proses mounting atau pembingkaian benda uji dilakukan pada
benda uji dengan ukuran yang kecil dan tipis, hal ini bertujuan untuk
mempermudah pemegangan benda uji ketika dilakukan tahap preparasi selanjutnya
seperti pengampelasan dan polishing. Benda uji ini di-mounting dengan alat
mounting press dengan penambahan bakelit yang akan
menggumpal dan
membingkai benda uji. Selain bakelit juga masih banyak bahan
yang dapat
digunakan untuk mounting.
Cetakannya :
1.Berbentuk bulat
2. Ukuran 1 inchi ± 1 ½ inchi Ø
1.Berbentuk bulat
2. Ukuran 1 inchi ± 1 ½ inchi Ø
Macam-macamnya
:
1.Cairanbasa(degesing) untuk menghilangkan garis.
2.Panas(Lemakdengan menggunakan uap gas )
3. Dengan menggunakan asam lemah.
1.Cairanbasa(degesing) untuk menghilangkan garis.
2.Panas(Lemakdengan menggunakan uap gas )
3. Dengan menggunakan asam lemah.
4. Alkohol yang tidak bereaksi dengan
udara.
5. Aseton.
Metode - metode pembingkaian(Mounting )
a. Adhesive
mounting
Adalah mounting yang menggunakan gaya adhesive material
Gambar 2.10 adhesive mounting
b. Clamp
Sampelnya misalnya berupa
lembaran-lembaran tipis dengan ketebalan 1 mm, terdapat 10 sampel dibariskan
sejajar dan di sisi muka dan belakang diberi logam lain yang berbeda (ukurannya
harus lebih besar dari sampel) kemudian dibuat dua buah lubang yang tembus
hingga ke belakang. Dan dipermukaannya masing-masing diberi identitas.
Kelebihan dari jenis bahan mounting ini yaitu prosesnya sangat cepat,
ukuran fleksibel dan dapat dipakai ulang clampnya.
Gambar
2.11 gambar clamp mounting
c . plastic mounting
Adapun
jenis-jenis bahan untuk mounting
1.
Castable mounting, jenis bahan mounting
dimana bahan serbuk diberi pelarut dan serbuk itu diletakkan dalam satu
tempat dengan dengan spesimen, kemudian dibalik dan bagian permukaan atasnya
datar. Contoh serbuknya adalah polister, epoxies (transparan) atau acrylics.
Kelebihannya adalah spesimen dengan ukuran besar / kecil dapat dimounting,
cetakannya bias digunakan berulang-ulang.
2.
Compression mold dimana ukuran diameter tetap,
jika berubah maka mesin harus diganti. Jenis material yang digunakan thermosetting
dan thermoplastic.
4.
Penggerindaaan halus( Pengamplasan)
Untuk meratakan
permukaan spesimen hasil dari penggerindaan kasar sebelum
spesimen dipoles, dilakukan penggerindaan halus atau
juga disebut pengamplasan.. Seperti pada penggerindaan kasar, juga harus selalu
dialiri air pendingin, agar specimen tidak rusak atau
terganggu oleh pemanasan yang terjadi.
Pengamplasan adalah proses untuk
mereduksi suatu permukaan dengan pergerakan permukaan abrasif yang bergerak
relatif lambat sehingga panas yang dihasilkan tidak terlalu signifikan. Pengamplasan bertujuan untuk meratakan dan menghaluskan permukaan sampel yang akan diamati. Pengamplasan
ini dilakukan secara berurutan yaitu dengan memakai amplas kasar hingga amplas halus.
Pengamplasan
kasar adalah pengamplasan yang dilakukan dengan menggunakan
amplas dengan nomor di
bawah 180 #, dan masih menyisahkan permukaan benda kerja yg belum halus.
Pengamplasan halus adalah pengamplasan yang dilakukan dengan
menggunakan amplas dengan
nomor lebih tinggi dari 180 #, dam menghasilkan permukaan yang halus.
Pengamplasan dimulai dengan meletakkan sampel pada kertas amplas dengan permukaan yang akan diamati bersentuhan langsung dengan
bagian kertas amplas yang kasar, kemudian sampel ditekan dengan gerakan
searah.Selama pengamplasan terjadi gesekan antara permukaan sampel dan kertas amplas yang memungkinkan terjadinya kenaikan suhu
yang dapat mempengaruhi mikrostruktur
sampel sehingga diperlukan pendinginan dengan cara mengaliri air.Apabila ingin mengganti
arah pengamplasan, sampel diusahakan
berada pada kedudukan tegak lurus terhadap arah mula-mula.Pengamplasan selesai
apabila tidak teramati lagi adanya goresan-goresan pada permukaan sampel, selanjutnya
sampel siap dipoles.
5.
Pemolesan
Pemolesan
adalah proses yang dilakukan untuk menghilangkan bagian-bagian yang
terdeformasi karena perlakuan sebelumnya dan Pemolesan
bertujuan untuk lebih menghaluskan dan melicinkan permukaan sampel yang akan
diamati setelah pengamplasan.
pemolesan dibagi dua yaitu
pemolesan kasar dan halus. Pemolesan
kasar menggunakan abrasive dalam range sekitar 30 - 3µm,
sedangkan
pemolesan halus menggunakan abrasive sekitar 1µm atau di
bawahnya.
Pemolesan terbagi dalam tiga
cara, yaitu:
1.
Mechanical polishing
Proses polishing
biasanya multistage karena pada tahapan awal dimulai dengan penggosokan
kasar (rough abrasive) dan tahapan berikutnya menggunakan penggosokan
halus (finer abrasive) sampai hasil akhir yang diinginkan. Mesin poles
metalografi terdiri dari piringan berputar dan diatasnya diberi kain poles
terbaik yaitu kain “selvyt” (sejenis kain beludru). Cara pemolesannya
yaitu benda uji diletakkan diatas piringan yang berputar dan kain poles diberi
air serta ditambahkan sedikit pasta poles. Pasta poles yang biasa dipakai
adalah jenis alumina (Al2O3) dan pasta intan (diamond).
2.
Chemical-mecanical polishing
Merupakan
kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang dilakukan serentak di
atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif dicampur dengan larutan pengetsa
yang umum digunakan untuk melihat struktur spesimen yang dipreparasi.
Metode ini akan memberikan hasil yang baik jika larutan etsa yang diberikan
sedikit tetapi pada dasarnya bebas dari logam pengotor akibat dari abrasif.
3.
Electropolishing
Electropolishing disebut juga electrolytic polishing yang banyak
digunakan oleh stainless steel, tembaga paduan, zirconium, dan
logam lainnya yang sulit untuk dipoles dengan metode mechanical. Metode electropolishing
dapat menghilangkan bekas cutting, grinding dan proses mechanical
polishing yang digunakan dalam preparasi spesimen. Ketika electropolishing
digunakan dalam metalografi, biasanya diawali dengan mechanical polishing
dan diikuti oleh etching. Mekanismenya yaitu menggunakan sistem
elektrolisis yang terdiri dari anoda (+) dan katoda (-). Spesimen yang
dimasukan ke dalam larutan elektrolit asam berada di anoda sedangkan yang
berada di katoda adalah logam yang harus lebih mulia dari spesimenya dan harus
tahan terhadap larutan elektrolitnya serta tidak boleh larut. Ketika proses,
spesimen yang di anoda akan larut karena teroksidasi. Dalam proses ini diberi
pengaduk agar logam yang terkikis meyebar merata.
6.
Pengetsaan adalah proses yang dilakukan untuk melihat
struktur mikro dari sebuah spesimen dengan menggunakan mikroskop optik.
•
Dilakukan dengan mengkikis daerah batas
butir sehingga struktur bahan dapat diamati dengan jelas
dengan bantuan mikroskop optik. Zat etsa bereaksi dengan
sampel secara kimia pada laju reaksi yang berbeda tergantung
pada batas butir, kedalaman butir dan komposisi dari sampel. Sampel yang akan dietsa haruslah bersih dan kering. Slema etsa,
permukaan sampel diusahakan harus selalu terendam dalam
etsa. Waktu etsa harus diperkirakan sedemikian sehingga
permukaan sampel yang dietsa tidak menjadi gosong karena
pengikisan yang terlalu lama. Oleh karena itu sebelum
dietsa, sampel sebaiknya diolesi alkohol untuk memperlambat reaksi. Pada pengetsaan masing-masing zat etsa yang digunakan memiliki
karakteristik tersendiri sehingga pemilihannya disesuaikan
dengan sampel yang akan diamati. Zat etsa yang umum
digunakan untuk baja ialah nital dan picral. Setelah
reaksi etsa selesai, zat etsa dihilangkan dengan cara mencelupkan
sampel ke dalam aliran air panas. Seandainya tidak memungkinkan
dapat digunakan air bersuhu ruang dan dilanjutkan dengan pengeringan
dengan alat pengering. Permukaan sampel yang telah dietsa tidak boleh disentuh untuk mencegah permukaan menjadi kusam. Stelah
dietsa, sampel siap untuk diperiksa di bawah mikroskop. Pada
intinya proses pengetsaan dilakukan menggunakan cairan kimia untuk memunculkan detail struktur mikro pada
spesimen. Dilakukan dengan cara mencelupkan mount kedalam wadah zat etsa.
Nittal
Nital adalah larutan
alkohol dan asam nitrat
yang biasa digunakan untuk mengetsa rutin logam. Hal ini terutama cocok
untuk mengungkapkan mikro baja karbon.
Larutan NIttal dengan kadar 2% biasa digunakan untuk mengamati butir ferit.
E.
Diagram Fe-Fe3C
Gambar 2.12 diagram Fe-Fe3C(besi-besi karbida)
Diagram
Fe-Fe3C adalah sebuah diagram yang menunjukkan hubungan antara temperature
dengan besarnya kadar karbon suatu material pada proses pemanasan.
Struktur Butir
Analisa
struktur butir dari diagram Fe-Fe3C
1.
Sementit
Juga dikenal sebagai besi karbida yang memiliki rumus kimia, Fe3C.
Sementit mengandung 6,67% karbon. Memiliki tipikal keras dan campuran
interstisial rapuh dari kekuatan tariknya yang rendah (kurang lebih 5000 psi)
tetapi memiliki kekuatan tekan yang tinggi.
Struktur kristalnya adalah ortorombik.
Gambar 2. 13 struktur butir sementit
2.
Austenit
Juga dikenal
sebagai besi gamma (γ), yang merupakan sebuah larutan padat interstisial dari
karbon yang dilarutkan dalam besi yang memiliki struktur kristal face centered
cubic (FCC). Sifat-sifat austenit rata-rata adalah :
Tensile strength
|
150,000 psi.
|
Elongation
|
10 % in 2 in gage length.
|
Hardness
|
Rockwell C 40
|
Toughness
|
High
|
Tabel 2. 1 Sifat-sifat dari austenit
Gambar 2.14 struktur butir austenite
Normalnya austenit tidak stabil
pada suhu kamar. Tapi di bawah kondisi-kondisi tertentu mungkin saja austenit
dihasilkan pada suhu kamar.
3.
Ferit
Juga dikenal sebagai besi alpha (α), yang merupakan larutan padat
interstisial dari sejumlah kecil karbon yang dilarutkan dalam besi yang
memiliki sturktur kristal body centered cubic (BCC). Ferrit adalah struktur
yang paling lembut pada diagram besi-besi karbida. Sifatnya rata-rata adalah:
Tensile Strength
|
40,000 psi
|
Elongation
|
40 % in 2 in gage length
|
Hardness
|
Less than Rockwell C 0 or less than Rockwell B
90.
|
Toughness
|
Low
|
Tabel 2.2 properti ferit
Gambar 2.15 Struktur butir ferit
4.
Perlit (α + Fe3C)
Merupakan campuran eutektoid yang mengandung 0,83% karbon dan terbentuk
pada suhu 1333°F melalui pendinginan yang sangat lambat. Bentuknya sangat datar
dan merupakan campuran antara ferrit dan sementit. Struktur dari perlit seperti
matriks putih (dasarnya dari ferrit) termasuk bentuk pipihnya yang seperti
sementit. Sifat rata-ratanya adalah:
Tensile Strength
|
120,000 psi
|
Elongation
|
20 % in 2 in gage length
|
Hardness
|
Rockwell C 20 or BHN 250-300
|
Table 2.3
properti perlit
gambar 2.16 Mikrostruktur dari perlit (cahaya dasarnya adalah matriks ferrit, garis
hitamnya adalah jaringan sementit)
Diperlukan sejumlah
dosis dari karbon dan sejumlah dosis dari besi untuk membentuk sementit (Fe3C).
Begitu juga perlit yang membutuhkan sejumlah dosis dari sementit dan ferrit.
Jika karbon yang diperlukan tidak cukup, yaitu kurang
dari 0,83%, besi dan karbonnya akan menyatu membentuk Fe3C sampai
seluruh karbonnya habis terpakai. Sementit ini akan bergabung dengan sejumlah
ferrit untuk membentuk perlit. Sejumlah sisa dari ferrit akan tinggal didalam
struktur sebagai ferrit bebas. Ferrit bebas juga dikenal sebagai ferrit
proeutektoid. Baja yang mengandung ferrit proeutektoid disebut juga sebagai
baja hipoeutektoid.
Bagaimanapun, jika
terdapat kelebihan karbon diatas 0,83% pada austenit, perlit akan terbentuk,
dan kekurangan karbon dibawah 0,83% akan membentuk sementit. Kelebihan
kandungan sementit diletakkan pada batas butir. Kelebihan kandungan sementit
ini juga dikenal sebagai sementit proeutektoid.
Gambar 2.17 struktur butir perlit dan ferit
5.
Ledeburit
Adalah campuran
eutektik dari austenit dan sementit. Ledeburit mengandung 4,3% karbon dan
menandakan keeutektikan dari besi cor. Ledeburit terbentuk ketika kandungan
karbon lebih dari 2%, yang ditunjukkan oleh garis pembagi pada diagram
equilibrium diantara baja dan besi cor.
6.
Besi δ
Besi δ terbentuk
pada suhu diantara 2552 dan 2802°F. dia terbentuk dari kombinasi dengan melt
hingga sekitar 0,5% karbon, kombinasi dengan austenit hingga sekitar 0,18% karbon
dan keadaan fasa tunggal hingga sekitar 0,10% karbon. Besi δ memiliki struktur
kristal body centered cubic (BCC) dan memiliki sifat magnetik.
7.
Martensit
(Reaksi-reaksi pembentukan)
Perbedaan antara austenit dengan martensit adalah, dalam
beberapa hal, cukup kecil: pada bentuk austenit sel satuannya berbentuk kubus
sempurna, pada saat bertransformasi menjadi martensit bentuk kubus ini
berdistorsi menjadi lebih panjang dari sebelumnya pada satu dimensi dan menjadi
lebih pendek pada dua dimensi yang lain. Gambaran matematis dari kedua struktur
ini cukup berbeda, untuk alasan-alasan simetri, tapi ikatan kimia yang
tertinggal sangat serupa. Tidak seperti sementit, yang ikatannya mengingatkan
kita kepada material keramik, kekerasan pada martensit sulit dijelaskan dengan
hubungan-hubungan kimiawi. Penjelasannya bergantung kepada perubahan dimensi
struktur kristal yang tidak kentara dan kecepatan transformasi martensit.
Austenit bertransformasi menjadi martensit pada pendinginan yang kira-kira
setara dengan kecepatan suara – terlalu cepat bagi atom-atom karbon untuk
keluar melalui kisi-kisi kristal. Distorsi yang menghasilkan sel satuan
mengakibatkan dislokasi kisi-kisi yang tak terhitung jumlahnya pada setiap
kristal, yang terdiri dari jutaan sel satuan. Dislokasi ini membuat struktur
kristal sangat tahan terhadap tegangan geser – yang berarti secara sederhana
bahwa ia tidak bisa dilekukkan dan tergores dengan mudah.
Gambar 2. 18 struktur butir martensit
Martensit
terbentuk apabila besi austenit didinginkan dengan sangat cepat ke
temperatur
rendah, sekitar temperatur ambien. Martensit adalah fasa tunggal
yang tidak
seimbang yang terjadi karena transformasi tanpa difusi dari austenit.
Pada
transformasi membentuk martensite, hanya terjadi sedikit perubahan posisi
atom relatif
terhadap yang lainnya.
F.
Diagram TTT
Gambar 2.18 diagram TTT
Diagram TTT (Time, Temperature, dan Transformation) adalah sebuah gambaran
dari suhu (temperatur) terhadap waktu logaritma untuk baja paduan dengan
komposisi tertentu. Diagram ini biasanya digunakan untuk menentukan kapan
transformasi mulai dan berakhir pada perlakuan panas yang isothermal
(temperatur konstan) sebelum menjadi campuran Austenit. Ketika Austenit
didinginkan secara perlahan-lahan sampai pada suhu dibawah temperatur kritis,
struktur yang terbentuk ialah Perlit. Semakin meningkat laju pendinginan, suhu
transformasi Perlit akan semakin menurun. Struktur mikro dari materialnya
berubah dengan pasti bersamaan dengan meningkatnya laju pendinginan. Dengan
memanaskan dan mendinginkan sebuah contoh rangkaian, transformasi austenit
mungkin dapat dicatat.
Diagram TTT menunjukkan kapan transformasi mulai dan berakhir secara
spesifik dan diagram ini juga menunjukkan berapa persen austenit yang
bertransformasi pada saat suhu yang dibutuhkan tercapai.
Peningkatan kekerasan dapat tercapai melalui kecepatan pendinginan dengan
melakukan pendinginan dari suhu yang dinaikkan seperti berikut: pendinginan
furnace, pendinginan udara, pendinginan oli, cairan garam, air biasa, dan air
asin.
Pada gambar 1, area
sebelah kiri dari kurva transformasi menunjukkan daerah austenit. Austenit
stabil pada suhu diatas temperatur kritis, tapi tidak stabil pada suhu dibawah
temperatur kritis. Kurva sebelah kiri menandakan dimulainya transformasi dan
kurva sebelah kanan menunjukkan berakhirnya transformasi. Area diantara kedua kurva
tersebut menandakan austenit bertransformasi ke jenis struktur kristal yang
berbeda. (austenit ke perlit, austenit ke martensit, austenit bertransformasi
ke bainit).
Gambar 2.19
Gambar 2 menunjukkan bagian atas dari diagram TTT.
Seperti yang terlihat pada gambar 2, ketika austenit didinginkan ke suhu
dibawah temperatur kritis, ia bertransformasi ke struktur kristal yang berbeda
tergantung pada ketidakstabilan lingkungannya. Laju pendinginannya dapat
dipilih secara spesifik sehingga austenit dapat bertransformasi hingga 50%,
100%, dan lain sebagainya. Jika kecepatan pendinginan sangat lambat seperti
pada proses annealing, kurva pendinginan akan melewati sampai seluruh area
transformasi dan produk akhir dari proses pendinginan ini akan menjadi 100%
perlit. Dengan kata lain, ketika laju pendinginan yang diterapkan sangat
lambat, seluruh austenit akan bertransformasi menjadi perlit. Jika laju
pendinginan melewati pertengahan dari daerah transformasi, produk akhirnya
adalah 50% austenit dan 50% perlit, yang berarti bahwa pada laju pendinginan
tertentu kita dapat mempertahankan sebagian dari austenit, tanpa mengubahnya
menjadi perlit.
Gambar 2.20
Gambar 3 menunjukkan jenis transformasi yang bisa
didapatkan pada laju pendinginan yang lebih tinggi. Jika laju pendinginan
sangat tinggi, kurva pendinginan akan tetap berada pada bagian sebelah kiri
dari kurva awal transformasi. Dalam kasus ini semua austenit akan berubah
menjadi martensit. Jika tidak terdapat gangguan selama pendinginan maka produk
akhirnya akan berupa martensit.
Gambar 2.21
Pada gambar 4 laju pendinginan A dan B menunjukkan dua
proses pendinginan secara cepat. Dalam hal ini kurva A akan menyebabkan
distorsi yang lebih besar dan tegangan dalam yang lebih besar dari laju
pendinginan B. Kedua laju pendinginan akan menghasilkan produk akhir martensit.
Laju pendinginan B juga dikenal sebagai laju pendinginan kritis, seperti
ditunjukkan oleh kurva pendinginan yang menyentuh hidung dari diagram TTT. Laju
pendinginan kritis didefinisikan sebagai laju pendinginan terendah yang menghasilkan
100% martensit juga memperkecil tegangan dalam dan distorsi.
Gambar 2.22
Pada gambar 5, sebuah proses pendinginan secara cepat
mendapat gangguan (garis horizontal menunjukkan gangguan) dengan mencelupkan
material ke dalam rendaman garam yang dicairkan dan direndam pada temperatur
konstan yang diikuti dengan proses pendinginan lain yang melewati daerah bainit
pada diagram TTT. Produk akhirnya adalah bainit, yang tidak sekeras martensit.
Sebagai hasil dari laju pendinginan D; dimensinya lebih stabil, distorsi dan
tegangan dalam yang ditimbulkan lebih sedikit.
Gambar 2.23
Pada gambar 6 laju
pendinginan C menggambarkan proses pendinginan secara lambat, seperti pada
pendinginan furnace. Sebagai contoh untuk pendinginan jenis ini adalah proses
annealing dimana semua austenit akan berubah menjadi perlit sebagai hasil dari
pendinginan secara lambat.
Gambar 2.24
Terkadang kurva pendinginan bisa melewati pertengahan
dari zona transformasi austenit-perlit. Pada gambar 7, kurva pendinginan E
menunjukkan sebuah laju pendinginan yang tidak cukup tinggi untuk memproduksi
100% martensit. Hal ini dapat dengan mudah terlihat dengan melihat pada diagram
TTT. Sejak kurva pendinginan tidak menyinggung hidung dari diagram transformasi,
austenit akan bertransformasi menjadi 50% perlit (kurva E menyinggung kurva
50%). Semenjak kurva E meninggalkan diagram transformasi pada zona martensit,
sisa yang 50% dari austenit akan bertransformasi menjadi martensit.
Gambar 2.25
Gambar 2.26
G.
Analisa kegagalan pada metalografi
Langkah-langkah
atau ProsedurAnalisis Kegagalan (II):
1.
Deskripsi dari terjadinya kegagalan,
(mendokumentasikan terjadinya kegagalan. Informasi berkaitan seperti disain
komponen, jenis material, sifat material, fungsi komponen).
2.
Pemeriksaan visual,
(mendokumentasikan pengamatan yang dilakukan ditempat kejadian).
3.
Analisis tegangan, (Ketika komponen
yang bekerja melibatkan adanya beban, maka analisis tegangan sangat diperlukan
untuk mengetahui apakah tegangan yang bekerja berada dibawah sifat mekanik
material).
4.
Pemeriksaan komposisi kimia,
(kesesuaian dengan komposisi kimia standar material).
5.
Fraktografi, (pemeriksaan permukaan
patahan dengan mikroskopoptik dan elektron untuk mengetahui mekanisme patahan).
6.
Metalografi.
7.
Sifat-sifat material, (biasanya
dengan pengujian kekerasan sudah cukup untuk mengetahui sifat-sifat mekanik
material dan dilakukan tanpa merusak sampel).
8.
Simulasi, (apabila memungkinkan).
Uji/Analisis Metalografi
Sample
Preparation Unit
Gambar
2.28
Pemotongan,
mounting, pengamplasan, pemolesan dan pengetsaan
Peralatan:
Mesin potong Accutom dengan diamond cutting
Abrasive Cutter Buehler Metaserv
Low Speed Ecomet
Alat Mounting Herzog
Mesin Gerinda Ecomet 3
Ultrasonic washing Cole Parmer 8850
Mesin potong Accutom dengan diamond cutting
Abrasive Cutter Buehler Metaserv
Low Speed Ecomet
Alat Mounting Herzog
Mesin Gerinda Ecomet 3
Ultrasonic washing Cole Parmer 8850
Optical Microscopes
Gambar
2.29
Leitz Metallovert
Dilengkapi dengan uji kekerasan
Pengamaran struktur mikro logam dan paduan, keramik dan komposit
Akurasi perhitungan besar butir dengan metode Hyne: 1 µm
Perbesaran maksimum 1000x.
Scanning Electron Microscope (SEM)
gambar 2.30
JEOL JSM-840A
Dengan WDS (Wavelength Dispersive Spectroscopy) dan Sputter Coater,
Analisis morfologi, topografi dan kristalografi dari logam/paduan logam, keramik, dan polimer,
Analisis unsur secara kualitatif dan kuantitatif dengan WDS,
Perbesaran maks. 360.000x,
Aplikasi penting dalam penelitian ilmu bahan, analisis kegagalan dan kontrol mutu dan lainnya.
Transmission Electron Microscope (TEM)
Gambar
2.31
TEM/STEM JEOL 1200EXII
Analisis cacat bahan, penentuan presipitat dan pola difraksi dari paduan logam dan keramik serta pemeriksaan mikrostruktur bahan organic.
Perbesaran TEM maks. 500.000x
Perbesaran STEM maks. 600.000x
Analisis cacat bahan, penentuan presipitat dan pola difraksi dari paduan logam dan keramik serta pemeriksaan mikrostruktur bahan organic.
Perbesaran TEM maks. 500.000x
Perbesaran STEM maks. 600.000x
H. Korosi
Korosi adalah kerusakan atau
degradasi logam akibat reaksi redoks antara
suatu logam dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan
senyawa-senyawa yang tidak dikehendaki. Dalam bahasa sehari-hari, korosi
disebut perkaratan. Contoh korosi yang paling lazim adalah perkaratan besi,
juga sering diartikan serangan yang merusak logam karena logam bereaksi secara kimia atau elektrokimia dengan lingkungan.
Jenis-jenis Cacat pada Material
Cacat dapat terjadi karena adanya solidifikasi (pendinginan) ataupun akibat dari luar. Cacat tersebut dapat berupa :
Cacat dapat terjadi karena adanya solidifikasi (pendinginan) ataupun akibat dari luar. Cacat tersebut dapat berupa :
1.
Cacat
titik (point defect)
Dapat berupa :
Dapat berupa :
v Cacat kekosongan
(Vacancy) yang terjadi karena tidak terisinya suatu posisi atom pada lattice.
v Interstitial
(“salah tempat”, posisi yang seharusnya kosong justru ditempati atom)
Substitusional (adanya atom “asing” yang menggantikan tempat yang seharusnya diisi oleh atom)
Substitusional (adanya atom “asing” yang menggantikan tempat yang seharusnya diisi oleh atom)
v Cacat garis
(line defect)Yakni Cacat yang menimbulkan distorsi pada lattice yang berpusat
pada suatu garis. Sering pula disebut dengan dislokasi. Secara umum ada 2 jenis
dislokasi, yakni : edge dislocation dan screw dislocation
v Cacat bidang (interfacial defect)
Ialah batasan
antara 2 buah dimensi dan umumnya memisahkan daerah dari material yang
mempunyai struktur kristal berbeda dan atau arah kristalnya berbeda, misalnya :
Batas Butir (karena bagian batas butir inilah yang membeku paling akhir dan
mempunyai orientasi serta arah atom yang tidak sama. Semakin banyak batas butir
maka akan semakin besar peluang menghentikan dislokasi. Kemudian contoh yang
berikutnya
adalah Twin (Batas butir tapi special,
maksudnya : antara butiran satu dengan butiran lainnya merupakan cerminan).
v
Cacat Ruang (Bulk defect)
Perubahan bentuk secara permanen disebut dengan Deformasi Plastis, deformasi plastis terjadi dengan mekanisme :
Slip, yaitu : Perubahan dari metallic material oleh pergerakan dari luar sepanjang Kristal. Bidang slip dan arah slip terjadi pada bidang grafik dan arah atom yang paling padat karena dia butuh energi yang paling ringan atau kecil.
Twinning terjadi bila satu bagian dari butir berubah orientasinya sedemikian rupa sehingga susunan atom di bagian tersebut akan membentuk simetri dengan bagian kristal yang lain yang tidak mengalami twinning.
Perubahan bentuk secara permanen disebut dengan Deformasi Plastis, deformasi plastis terjadi dengan mekanisme :
Slip, yaitu : Perubahan dari metallic material oleh pergerakan dari luar sepanjang Kristal. Bidang slip dan arah slip terjadi pada bidang grafik dan arah atom yang paling padat karena dia butuh energi yang paling ringan atau kecil.
Twinning terjadi bila satu bagian dari butir berubah orientasinya sedemikian rupa sehingga susunan atom di bagian tersebut akan membentuk simetri dengan bagian kristal yang lain yang tidak mengalami twinning.
I. Tegangan sisa
Adalah sebuah tegangan yang bekerja pada
suatu bahan setelah semua gaya-gaya luar yang bekerja pada benda tersebut
dihilangkan. Tegangan sisa muncul akibat beberapa proses pembentukan seperti
deformasi plastis, perubahan temperatur dan transformasi fasa. Beberapa proses
pembentukan yang menghasilkan tegangan sisa antara lain: casting, forming,
forging, drawing, extruding, rolling, spinning, bending, machining, welding,
shot peening, quenching, carburizing, coating, dll.
Tegangan sisa
ini dapat menguntungkan tetapi juga dapat merugikan. Jika beban berupa tegangan
tarik dan terdapat tegangan sisa tekan pada material maka tegangan sisa ini
akan memberi resultante negatif mengurangi efek beban ke material. Sebaliknya
jika terdapat tegangan sisa tarik pada material yang mengalami beban tarik maka
akan memberikan resultante positif dan jika melawati tegangan luluhnya akan
menjadi awal mula terjadinya patahan.
Beberapa teknik
telah dikembangkan untuk menghilangkan tegangan sisa ini, khususnya
jika bersifat
merugikan. Yang umum digunakan adalah dengan anealing, yaitu proses pemanasan
material yang
mengalami pengerjaan dingin hingga pada temperatur rekristalisasinya. Pada
temperatur
rekristalisasi, butir-butir akan terbentuk kembali dan tegangan sisa akan
dilepaskan.
Metode
lain adalah dengan menggetarkan material pada frekuensi pribadinnya. Dengan
metode ini,
material relatif
tidak mengalami perubahan bentuk meskipun tegangan sisanya terlepas.
J. Metalografi
Kuantitatif
Ilmu
yang mempelajari secara kuantitatif hubungan antara pengukuran-pengukuran yang
dibuat pada bidang dua dimensi dengan besaran-besaran struktur mikro dari suatu
spesimen berdimensi tiga.
Metalografi kuantitatif adalah
pengukuran gambar struktur dari potongan, replika, atau lapisan tipis dari
logam-logam yang dapat diamati dengan mikroskop optik dan mikroskop elektron.
Obyek yang diukur fasa dan butir yang meliputi :
a. Fraksi volume
Perhitungan fraksi volume dilakukan
untuk menentukan fraksi volume dari fasa tertentu atau dari suatu kandungan
tertentu. Teknik yang paling sederhana yaitu dengan melihat struktur mikro,
memperkirakan fraksi luas. Atau dengan membandingkan struktur mikro dengan
pembesaran tertentu terhadap standar tertentu yang terdiri dari beberapa jenis
dan gambar struktur yang ideal dengan persentase yang berbeda. Dengan metode
perhitungan ada dua cara. Cara yang pertama adalah dengan analisa luas yang
diperkenalkan pertama kali oleh Delesse, Geologis Jerman pada tahun 1848, yang
menunjukkan fraksi luas Aa, dari potongan dua dimensi adalah suatu perhitungan
fraksi volume :
Vv = A /AT
Dimana A adalah jumlah luas fasa yang dimaksud AT adalah luas total pengukuran. Pengukuran
dapat dengan metode planimetri atau dengan memotong foto fasa yang dimaksud dan
mencoba membandingkan lebar 11
fasa yang dimaksud dengan lebar foto
yang dimaksud. Metode ini kurang
sesuai untuk fasa halus.
Cara yang kedua adalah dengan
analisa garis, metode ini diperkenalkan oleh Reziwal seorang Geologis Jerman
pada tahun 1898. Ia mendemonstrasikan ekuivalensi antara fraksi garis LL dan
fraksi volum. Pada analisa garis, total panjang dari garis-garis yang ditarik
sembarangan memotong fasa yang diukur L dibagi dengan total panjang garis LT
untuk memperoleh fraksi garis :
LL = L /LT = Vv
Cara yang kedua yaitu dengan
perhitungan titik, diperkenalkan oleh
Thomson 1933, Glagolev 1933,
Chalkley 1943. Metode ini menggunakan
point grind dua dimensi. Caranya
test grind diletakkan pada lensa okuler
atau dapat diletakkan di depan layar proyeksi atau foto
dengan bantuan lembaran plastik. Pembesaran harus cukup tinggi sehingga lokasi
titik uji terhadap struktur tampak jelas. Pembesaran sekecil mungkin dimana
hasil memungkinkan pembesaran disesuaikan dengan daya pisah dan ukuran area
untuk ketelitian statistik. Semakin kecil pengukuran semakin banyak daerah yang
dapat dianalisa dengan derajat ketelitian statistik tertentu. Titik potong
adalah perpotongan 2 garis grind:
Pp = P /PT = L /nPo
Dimana n adalah jumlah perhitungan dan Po jumlah titik dari
grind. Jadi PT = nPo, jumlah total titik uji pada lensa okuler umumnya
menggunakan jumlah titik terbatas yaitu 9, 16, 25, dan seterusnya dengan jarak
teratur. Sedangkan untuk grind yang digunakan didepan screen mempunyai 16, 25, 29, 64 atau 100 titik. Fraksi volume
sekitar 50% sangat baik menggunakan jumlah grind yang sedikit, seperti 25
titik. Untuk volume fraksi yang amat rendah baik digunakan grind dengan jumlah
titik yang banyak dalam kebanyakan pekerjaan, fraksi volume dinyatakan dengan
persentase dengan dikalikan 100. Ketiga metode dapat dianggap mempunyai
ketelitian yang sama.
VV =AA =LL =P
b. Ukuran /besar butir
Metode perhitungan besar butir ada
dua cara. Cara yang pertama adalah metode Planimetri yang diperkenalkan oleh
Jefferies. Metodenya yaitu dengan rumus :
G = [3,322 Log (NA) ± 2,95]
Dimana NA adalah jumlah butir/ mm2 =
(F) (n1+ n2/2) = NA
F adalah bilangan Jefferies = M2 /
5000.
5000 mm2 = Luas lingkaran.
No butir dapat dilihat di table ASTM
Metoda yang kedua adalah dengan
metode Intercept yang diperkenalkan
oleh Heyne yaitu dengan rumus :
G = [6,646 log
9L3)
± 3,298]
PL = P / (LT/M)
Panjang garis perpotongan ;
-L3 = 1 / PL
P = Jumlah titik potong batas butir
deng an lingkaran
LT = Panjang garis total
M = Perbesaran
P1 atau L3 dapat dilihat di table besar butir ASTM
M = Perbesaran
P1 atau L3 dapat dilihat di table besar butir ASTM
Sebenarnya masih banyak obyek-oblek
pengukuran metalografi kuantitatif lainnya yang belum disebutkan. Seperti
mengukur luas permukaan dan panjang garis volume, dan distribusi ukuran
partikel dengan metode yang berbeda-beda. Semuanya dipakai sesuai dengan
permintaan analisa metalografinya. Tetapi yang paling sering menjadi obyek
dalam metalografi kuantitatif biasanya adalah perhitungan fraksi volume dan
perhitungan besar atau ukuran butir.
K. Pemeriksaan
Makroskopik dan Mikroskopik
a.
Pemeriksaan
makroskopik
Pemeriksaan
makroskopik adalah sebuah pemeriksaan untuk mengamati struktur
dengan perbesaran 10-100 kali, biasanya
digunakan mikroskop cahaya.
b.
Pemeriksaan
mikroskopik
Pemeriksaan
mikroskopik adalah sebuah pemeriksaan untuk mengamati struktur dengan perbesaran
diatas 100 kali, biasanya digunakan mikroskop cahaya ataupun mikroskop elektron
dan mikroskop optik.
i.
Nomenklatur
alat polish dan mikroskop
Nomenklatur
mikroskop
ii. Sistem
kristalografi
1. Sistem Isometrik
a.
Sistem ini juga disebut sistem
kristal regular, atau dikenal pula dengan sistem kristal kubus atau
kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak lurus satu dengan yang
lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama untuk masing-masing sumbunya.
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Isometrik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b
dan sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚.
Hal ini berarti, pada sistem ini, semua sudut kristalnya ( α , β dan γ ) tegak
lurus satu sama lain (90˚).
Gambar 2.32 sistem isometrik
b.
Pada penggambaran dengan menggunakan
proyeksi orthogonal, sistem Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1
: 3 : 3. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b
ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3
(nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ =
30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap
sumbu bˉ.
Sistem isometrik dibagi menjadi 5
Kelas :
Tetaoidal
Gyroida
Diploida
Hextetrahedral
Hexoctahedral
Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold,
pyrite, galena, halite, Fluorite (Pellant, chris: 1992)
2.
Sistem
Tetragonal
Sama
dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu kristal yang
masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang sama. Sedangkan
sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih pendek. Tapi pada umumnya
lebih panjang.
Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal
memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b ≠ c , yang artinya panjang
sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki
sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, semua
sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).
Gambar 2.33
Sistem Tetragonal
Pada penggambaran dengan menggunakan
proyeksi orthogonal, sistem kristal Tetragonal memiliki perbandingan sumbu a :
b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada
sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6
(nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ =
30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap
sumbu bˉ.
Sistem tetragonal dibagi menjadi 7
kelas:
Piramid
Bipiramid
Bisfenoid
Trapezohedral
Ditetragonal Piramid
Skalenohedral
Ditetragonal Bipiramid
Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Tetragonal ini
adalah rutil, autunite, pyrolusite, Leucite, scapolite (Pellant,
Chris: 1992)
3. Sistem Hexagonal
Sistem ini
mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga sumbu
lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚ terhadap satu
sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c
berbeda, dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).
Pada kondisi sebenarnya, sistem
kristal Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c ,
yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi
tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ;
γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus
dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.
Gambar 2.34
Sistem Hexagonal
Pada penggambaran dengan menggunakan
proyeksi orthogonal, sistem Hexagonal memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1
: 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b
ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai
bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ;
dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚
terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 7:
Hexagonal Piramid
Hexagonal Bipramid
Dihexagonal Piramid
Dihexagonal Bipiramid
Trigonal Bipiramid
Ditrigonal Bipiramid
Hexagonal Trapezohedral
Beberapa contoh mineral dengan
sistem kristal Hexagonal ini adalah quartz, corundum, hematite,
calcite, dolomite, apatite. (Mondadori, Arlondo. 1977)
4. Sistem Trigonal
Jika kita
membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain yaitu
Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam sistem
kristal Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama. Perbedaannya,
bila pada sistem Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang terbentuk
segienam, kemudian dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik sudut yang
melewati satu titik sudutnya.
Pada kondisi sebenarnya, Trigonal
memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang
sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan
sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini
berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut
120˚ terhadap sumbu γ.
Gambar2.35
Sistem Trigonal
Pada penggambaran dengan menggunakan
proyeksi orthogonal, sistem kristal Trigonal memiliki perbandingan sumbu a : b
: c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu
b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis dengan nilai 6 (nilai
bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 20˚ ;
dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚
terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.
Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas:
Ø Trigonal piramid
Ø Trigonal Trapezohedral
Ø Ditrigonal Piramid
Ø Ditrigonal Skalenohedral
Ø Rombohedral
Ø Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Trigonal ini
adalah tourmalinedan cinabar (Mondadori, Arlondo. 1977)
5. Sistem Orthorhombik
Sistem ini
disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal yang saling
tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang
yang berbeda. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki
axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang
sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan
juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem
ini, ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚).
Gambar
2.36 Sistem Orthorhombik
Pada penggambaran dengan menggunakan
proyeksi orthogonal, sistem Orthorhombik memiliki perbandingan sumbu a : b : c
= sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya
pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem ini dibagi menjadi 3 kelas:
v Bisfenoid
v Piramid
v Bipiramid
v Beberapa contoh mineral denga sistem kristal Orthorhombik
ini adalah stibnite, chrysoberyl, aragonite
dan witherite (Pellant, chris. 1992)
6. Sistem Monoklin
Monoklin
artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang
dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus terhadap sumbu
c, tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut
mempunyai panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang paling panjang dan
sumbu b paling pendek.
Pada kondisi sebenarnya, sistem
Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya
panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu sama lain.
Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini berarti, pada
ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak
lurus (miring).
Gambar
2.37 Sistem Monoklin
Pada penggambaran dengan menggunakan
proyeksi orthogonal, sistem kristal Monoklin memiliki perbandingan sumbu a : b
: c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang
pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal
ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ.
Sistem Monoklin dibagi menjadi 3
kelas:
Sfenoid
Doma
Prisma
Beberapa contoh mineral dengan ancer
kristal Monoklin ini adalah azurite, malachite, colemanite,
gypsum, dan epidot (Pellant, chris. 1992)
7. Sistem Triklin
Sistem ini
mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak saling tegak
lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama. Pada kondisi
sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a
≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau
berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚.
Hal ini berarti, pada system ini, sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus
satu dengan yang lainnya.
Gambar
2.38 Sistem Triklin
Pada penggambaran dengan menggunakan
proyeksi orthogonal, Triklin memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang.
Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya
pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini
menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚ terhadap sumbu bˉ dan bˉ
membentuk sudut 80˚ terhadap c+.
Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas:
Pedial
Pinakoidal
Beberapa contoh mineral dengan ancer
kristal Triklin ini adalah albite, anorthite, labradorite,
kaolinite, microcline dan anortoclase .
N. Gambar
ASTM Grain Size Number
Gambar 2.39 ASTM Brain Size Number
Menentukan ukuran butir rumit oleh
sejumlah faktor. Pertama,
ukuran tiga-dimensi
dari butir tidak
konstan dan pesawat
sectioning akan memotong
melalui butir secara
acak. Dengan demikian, pada
bagian-lintas kita
akan mengamati berbagai
ukuran, tidak lebih
besar dari penampang gandum terbesar sampel.
Bentuk butir juga bervariasi, terutama sebagai
fungsi dari ukuran butir. Salah satu bentuk
studi awal butir
dibuat oleh Lord
Kelvin pada tahun 1887. Dia menunjukkan
bahwa bentuk butir-mengisi ruang optimal,
dengan luas permukaan minimum dan tegangan
permukaan, adalah polyhedron dikenal sebagai
tetrakaidecahedron, yang memiliki 14 wajah,
24 sudut, dan
36 sisi. Sementara
bentuk ini memenuhi
kriteria butir yang
paling, tidak memenuhi sudut derajat yang
dibutuhkan 120 dihedral antara butir di mana
tiga butir berdekatan
bertemu di tepi,
kecuali wajah menunjukkan
sejumlah kecil kelengkungan.
Lain bentuk bulir
yang ideal, pigura berduabelas segi
pentagonal, setuju juga dengan pengamatan
dari biji-bijian, tapi bukan merupakan bentuk
ruang mengisi. Ini
memiliki dua belas lima-sisi wajah. Namun,
harus diakui bahwa
kami sampling butir
dengan berbagai ukuran
dan bentuk. Dalam kebanyakan kasus,
butir diamati pada
pameran pesawat dipoles
penampang berbagai ukuran sekitar pengukuran
rata-rata dan individu
sentral dari biji-bijian, diameter, atau panjang
mencegat memperlihatkan distribusi normal. Pada
sebagian besar kasus,
kita hanya menentukan
nilai rata-rata ukuran
butir planar, daripada distribusi. Ada kasus
di mana distribusi ukuran butir tidak normal,
tetapi bimodal, atau "dupleks." Juga, bentuk biji-bijian kami
dapat terdistorsi oleh prosedur pengolahan sehingga
mereka diratakan dan
/ atau memanjang.
Bentuk produk yang
berbeda, dan prosedur pengolahan yang berbeda, dapat menghasilkan berbagai
bentuk butiran non-sama-sumbu. Ini, tentu
saja, tidak mempengaruhi kemampuan kita untuk
mengukur ukuran butir.
Menentukan ukuran butir juga rumit
oleh berbagai jenis biji-bijian yang dapat hadir
dalam logam, meskipun bentuk dasar mereka
adalah sama. Sebagai contoh, dalam tubuh berpusat
logam kubik, seperti Fe, Mo, dan Cr, kami telah butir ferit, dalam
berpusat muka logam kubik, seperti Al,
Ni, Cu, dan
baja tahan karat tertentu,
kita memiliki butir
austenit. Butir menunjukkan
bentuk yang sama dan
diukur dengan cara yang sama, tetapi kita
harus berhati-hati dalam menjelaskan apa jenis
biji-bijian kita ukur.
Dalam menghadapi berpusat
logam kubik, kita
boleh mengamati batas kembar yang disebut dalam
butir (lihat sidebar
di jenis biji-bijian).
Aluminium paduan, bagaimanapun, jarang kembar
pameran. Ketika kembar
hadir, mereka akan
diabaikan jika kita mencoba untuk mendefinisikan
ukuran butir. Namun, jika kita berusaha
untuk membangun hubungan antara struktur mikro dan
sifat, misalnya, kekuatan, kita harus mempertimbangkan batas kembar karena
mereka mempengaruhi gerakan dislokasi, seperti batas butir lakukan.
Oleh karena itu, kita harus mengakui maksud
dari pekerjaan yang
dilakukan.
Dalam baja panas dirawat, ia diakui bahwa ukuran butir hasil dari perlakuan panas, biasanya martensit, tidak diukur atau tidak dapat diukur. Untuk baja karbon rendah, bentuk martensit di paket dalam induk butir austenit. Dalam martensites tinggi karbon, kita tidak memperhatikan bentuk apapun struktural nyaman yang dapat diukur. Dalam kebanyakan kasus, kami mencoba untuk mengukur ukuran induk butir austenit yang terbentuk selama memegang suhu tinggi selama perawatan panas. Hal ini biasanya disebut sebagai "ukuran butir sebelumnya-austenit" dan telah banyak berhubungan dengan sifat baja perlakuan panas. Proses yang paling sulit di sini adalah prosedur etsa diperlukan untuk mengungkapkan batas-batas sebelumnya. Kadang-kadang mereka tidak dapat terungkap, terutama pada baja karbon rendah. Dalam hal ini, dimungkinkan untuk mengukur karbon rendah reng ukuran paket martensit, yang merupakan fungsi dari ukuran butir sebelumnya-austenit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar